EKSISTENSI HUKUM DALAM HIDUP BERMASYARAKAT
Dimana
ada masyarakat disitu terdapat hukum “ubi societas ibi sius”.
Hukum ada sejak masyarakat ada. Dapat dipahami disini bahwa hukum itu
sesungguhnya adalah produk otentik dari masyarakat itu sendiri yang merupakan
kristalisasi dari naluri, perasaan, kesadaran, sikap, perilaku, kebiasaan,
adat, nilai, atau budaya yang hidup di masyarakat. Namun, dilihat dari segi
historis bahwa manusia tidak pernah hidup
secara menyendiri diluar bentuk hidup masyarakat.
Hidup
bermasyarakat merupakan keinginan
manusia dari berbagai dunia, artinya dalam hidup bermasyarakat manusia bisa
melangsungkan hidupnya. Walaupun dari segi ekonomi dan sumber daya manusia
(SDM) memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain. Manusia lahir, hidup dan berkembang dan meninggal dunia
di dalam masyarakat. Hal ini berarti manusia
tidak mungkin dapat hidup secara atomistis
dan soliter. Disamping itu, tidak
ada catatan historis bahwa manusia
dapat berbicara untuk dipahami oleh sesama manusia.
Kemampuan
manusia untuk berbicara adalah alat untuk saling berinteraksi atau
berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya. Dengan kemampuan berinteraksi
atau berkomunikasi manusia memulai untuk saling membutuhkan satu dengan yang
lainnya. Pengakuan bahwa manusia saling membutuhkan pengakuan akan kebutuhan
disebut aspek eksistensial.
Dengan
demikian, dalam hidup bermasyarakat manusia terdapat dua aspek, yaitu aspek
fisik dan aspek eksistensial. Aspek fisik berkaitan dengan hakikat manusia
sebagai mahkluk hidup. Sedangkan, aspek eksistensial berkaitan dengan perbedaan
keberadaan mahkluk hidup. Gabriel Marcel menyatakan, “as long as death plays no further role than that of providing man with
an incentive to evade it, man behave as mere living being, notas an existing
being.”
Keamanan
juga dibagi menjadi dua yaitu, keamanan fisik dan keamanan eksistensial.
Keamanan fisik berkaitan dengan kelaparan, kekerasan, pelecehan. Sedangkan,
keamanan eksistensia berkaitan dengan rasa takut, diasingkan, dicemooh. Dalam
menghadapi keamanan ini juga mengalami perbedaan. Mengingat kodoratnya manusia
sebagai mahkluk sosial, manusia mengembangkan sarana yang besifat imateriel
yang dapat menjadi perekat hidup dalam masyarakat.
Rasa
cinta kasih dan sikap kebersamaan yang ada dalam diri manusia untuk menciptakan
pranata – pranata. Dengan adanya pranata – pranata pada manusia, manusia
memiliki moral. Di dalam masyarakat primitive juga memiliki pranata – pranata.
Pranata – pranata sangat penting bagi manusia meskipun itu masyarakat primitive.
Toynbee menyatakan bahwa pranata – pranata memang merupakan bagian yang
esensial dalam kehidupan bermasyarakat manusia.
Dari
segi tujuan pranata juga memiliki perbedaan sisi. Di sisi lain pranata memiliki
hubungan diluar dirinya. Adapun norma yang merupakan pranata yang berkaitan
dengan hubungan antara individu dalam hidup bermasyarakat. Norma berisikan
perintah dan larangan yang masih bersifat luas itu perlu dituangkan kedalam
aturan – aturan hukum.
Aturan
– aturan itulah yang disebut hukum. Terhadap hal ini masyarakat masih mengalami
kesalahan dalam cara memandang bahwasannya hukum itu baru ada. Padahal, hukum itu
ada sejak adanya masyarakat. Akibatnya ,dari cara pandang yang salah. Masyarakat tidak mengenal hukum.
Richard
D. Schwartz mengemukakan bahwa manusia selalu hidup berkelompok atau hidup
bermasyarakat. Hal ini berarti manusia tidak pernah hidup secara soliter atau
atomistis seperti yang diduga oleh teori – teori spekulatif. Dengan pandangan
demikian bahwa masyarakat kecil tidak perlu aturan hukum karena tidak ada
organisasi pemerintahan yang bersifat formal.
Ada
suatu anggapan yang menyatakan bahwa masyarakat primitive tidak perlu mengenal
hukum. Dikarenakan, masyarakat primitive dengan sendirinya akan taat pada
aturan yang ada, yang disebut mores. Suatu
hal yang perlu diperhatikan bahwa perlunya sikap berhati – hati dalam
menginterpretasi kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat primitive.
Melalui
studi antropologis yang dibuatnya Malinowski menjelaskan bahwa di salam
masyarakat primitive mempunyai suatu norrma
yang bukan sekedar kebiasaan ataupun mores.
Melainkan suatu norma yang disebut sebagai hukum. Akan tetapi Hari Chand
menyatakan bahwa sebenarnya hukum dan kebiasaan adalah dua hal yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar